Sunday, December 16, 2012

Model Permainan Melempar Bola Salju (Snowball Throwing)



Model pembelajaran permainan melempar bola salju merupakan salah satu pembelajaran aktif yang melatih siswa untuk tanggap dalam menerima bahan ajar baik dari guru maupun dari rekan-rekannya. Pada model pembelajaran permainan bola salju, siswa di bentuk ke dalam sebuah kelompok dimana masing-masing kelompok memiliki ketua kelompok. Guru memanggil  tiap-tiap ketua kelompok untuk diberikan penjelasan mengenai bahan ajar yang akan dipelajari. Setelah itu, ketua kelompok menjelaskan bahan ajar tersebut kepada teman-teman satu kelompok.

Model permainan bola salju juga melatih siswa untuk memiliki rasa tanggungjawab karena pada akhirnya siswa diharuskan untuk membuat satu pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari. Pertanyaan tersebut dijawab oleh temannya dan siswa yang membuat pertanyaan harus melengkapi jawaban temannya yang menjawab pertanyaan yang dibuatnya.

Selain melibatkan siswa secara aktif baik dari segi kognitif dan emosional siswa, dalam model ini juga secara aktif melibatkan siswa dari segi fisik yaitu kegiatan “melempar bola salju”. Pertanyaan yang buat siswa ditulis pada kertas selembar yang kemudian dibentuk seperti “bola salju”. Bola salju yang berisi pertanyaan tersebut dilemparkan kepada temannya. Teman yang menerima bola tersebut harus menjawab pertanyaan yang ada di dalamnya dan pembuat pertanyaan melengkapi jawaban temannya tersebut. Siswa yang dapat menjawab pertanyaan dengan baik akan mendapat penghargaan berupa nilai.

Dengan demikian, model permainan bola salju adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, baik segi fisik, mental dan emosionalnya yang diramu dengan kegiatan melempar pertanyaan seperti “melempar bola salju”. Model pembelajaran ini dapar memupuk siswa untuk belajar menjelaskan materi, membuat pertanyaan, dan menyempurnakan jawaban yang diberikan temannya.

Menurut Suprijono (2012 : 128), langkah-langkah Model pembelajaran permainan melempar bola salju adalah sebagai beikut:

1.      guru menyampaikan materi yang akan disajikan;

2.    guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi.

3. Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya;

4.   Kemudian masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok;

5.   Kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain selama  kurang lebih 15 menit.

6.  Setelah siswa dapat satu bola / satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang ditulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian;

7.      Evaluasi

8.      Penutup
Untuk mengefektifkan waktu, lama pelemparan bola salju dapat ditentukan oleh guru sesuai kondisi 
dan keadaan yang terjadi.

Daftar Pustaka

Suprijono, A. (2012). Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Thursday, December 13, 2012

Pemahaman Matematis (Mathematics Understanding))

Menurut Walle (2008: 26), “pemahaman dapat didefinisikan sebagai ukuran kualitas dan kuantitas hubungan suatu ide dengan ide yang telah ada”. Setiap siswa memiliki kemampuan pemahaman yang berbeda tergantung pada ide yang dimiliki dan pembuatan hubungan antara ide yang ada dengan ide baru.
Bloom (Suherman, 2003: 29-35), mengklasifikasikan pemahaman pada jenjang kognitif urutan kedua setelah pengetahuan, jenjang kognitif tahap pemahaman ini mencakup hal-hal berikut.
a.       pemahaman konsep;
b.      pemahaman prinsip, aturan, dan generalisasi;
c.       pemahaman terhadap struktur matematika;
d.      kemampuan untuk membuat tranformasi;
e.       kemampuan untuk mengikuti pola berpikir;
f.       kemampuan untuk membaca dan menginterpretasikan masalah sosial atau data matematika.
Pemahaman akan sebuah konsep ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari memiliki peranan yang sangat penting. Siswa akan berkembang ke jenjang kognitif yang lebih tinggi jika ia memiliki pemahaman konsep yang baik. Jika pemahaman konsep dikuasai dengan baik maka siswa akan mampu menghubungkan atau mengaitkan sebuah konsep yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, konsep tersebut dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan dari mulai yang sederhana hingga ke permasalahan yang lebih kompleks.
Ruseffendi (2006: 221), mengkategorikan pemahaman menjadi tiga macam, yaitu:
1.      pengubahan (penerjemahan);
2.      pemberian arti (interpretasi);
3.      pembuatan ekstrapolasi.
Pengubahan (penerjemahan), yaitu kemampuan untuk mengubah atau menerjemahkan simbol ke dalam kata-kata dan sebaliknya, mampu mengartikan suatu kesamaan dan mampu mengkonkritkan konsep yang abstrak. Pemberian arti (interpretasi), yaitu kemampuan untuk memahami sebuah konsep yang disajikan dalam bentuk lain seperti diagram, tabel, grafik dan lain-lain. Sedangkan Pembuatan ekstrapolasi, yaitu kemampuan untuk memperkirakan atau meramalkan suatu kecenderungan yang ada menurut data tertentu. Menurut Polya (Jihad, 2008: 167), membedakan 4 jenis pemahaman, yaitu:
1.  pemahaman mekanikal, yaitu dapat mengingatkan dan menerapkan sesuatu secara rutin atauperhitungan sederhana;
2.   pemahaman induktif, yaitu dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa;
3.      pemahaman rasional, yaitu dapat membuktikan kebenaran sesuatu;
4.    pemahaman intuitif, yaitu dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu, sebelum menganalisis secara analitik.
Berbeda dengan Polya, Pollatsek (Sumarmo, 2010: 4-5), menggolongkan pemahaman dalam dua jenis, yaitu:
1.      pemahaman komputasional;
2.      pemahaman fungsional.
Pemahaman komputasional adalah kemampuan menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana dan mengerjakan perhitungan secara algoritma. Sedangkan pemahaman fungsional adalah kemampuan mengkaitkan satu konsep/prinsip lainnya dan menyadari proses yang dikerjakannya. Sementara itu, Skemp (Idris, 2009: 37) membedakan pemahaman ke dalam tiga macam, yaitu:
1.      pemahaman instrumental (instrumental understanding);
2.      pemahaman relasional (relational understanding);
3.      pemahaman  logis (logical understanding).
Pemahaman instrumental adalah kemampuan seseorang menggunakan prosedur matematis untuk menyelesaikan suatu masalah tanpa mengetahui mengapa prosedur itu digunakan. Dengan kata lain siswa hanya mengetahui “bagaimana” tetapi tidak mengetahui “mengapa”. Pada tahapan ini, pemahaman konsep masih terpisah dan hanya sekedar hafal suatu rumus untuk menyelesaikan permasalahan rutin / sederhana sehingga siswa belum mampu menerapkan rumus tersebut pada permasalahan baru yang berkaitan. Sementara itu, pemahaman relasional adalah kemampuan seseorang menggunakan prosedur matematis dengan penuh kesadaran bagaimana dan mengapa prosedur itu digunakan. Secara ringkasnya, siswa mengetahui keduanya yaitu “bagaimana” dan “mengapa”. Pada tahap ini, siswa dapat mengaitkan antara satu konsep atau prinsip dengan konsep atau prinsip lainnya dengan benar dan menyadari proses yang dilakukan. Sedangkan pemahaman logis berkaitan erat dengan meyakinkan diri sendiri dan meyakinkan orang lain. Dengan kata lain, siswa dapat mengkonstruksi sebuah bukti sebelum ide-ide yang dimilikinya dipublikasikan secara formal atau informal sehingga membuat siswa tersebut merasa yakin untuk membuat penjelasan kepada siswa yang lain.
 “Secara umum, indikator pemahaman matematika meliputi: mengenal, memahami dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematika” (Sumarmo, 2010: 4). Adapun indikator yang digunakan  adalah indikator pemahaman konsep menurut Jihad dan Haris (2010: 149),  sebagai berikut.
1.      kemampuan menyatakan ulang sebuah konsep yang dipelajari;
2.  kemampuan mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya);
3.      kemampuan menyebutkan contoh dan non-contoh dari konsep;
4.      kemampuan menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis;
5.      kemampuan menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu;
6.      kemampuan mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
7.      kemampuan mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep;

Daftar Pustaka
Idris, N. (2009). Enhanching Students’ Understanding In Calculucus Trough Writing. International Electronic Journal of Mathemathics Education. 4, (1).36-56.
Jihad, A. (2008). Pengembangan Kurikulum Matematika.Yogyakarta: Multi Pressindo.
Jihad, A. dan Haris. (2010). Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Potensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Suherman. dkk. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Jica.
Sumarmo, U. (2010). Berfikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan Pada Peserta Didik. Jurnal FMIPA UPI Bandung.
Walle, J.A.V.D. (2008). Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Pengembangan Pengajaran. Jakarta: Erlangga.

Monday, February 20, 2012

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEMAMPUAN SISWA MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA (MATHEMATICS PROBLEM SOLVING)

Oleh Sri Wulandari Danoebroto

A.    Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika

Masalah dalam matematika merupakan soal-soal yang belum diketahui prosedur pemecahannya oleh siswa. Pemecahan masalah merupakan upaya memperoleh solusi masalah dengan menerapkan pengetahuan matematika dan melibatkan keterampilan siswa berpikir dan bernalar. Pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika dapat berfungsi sebagai konteks (problem solving as context), sebagai keterampilan (problem solving as skill), dan sebagai seni dari matematika (problem solving as art) atau Stanick dan Kilpatrick (Schoenfeld, 1992) mengistilahkannya sebagai heart of mathematics.

Dalam pembelajaran matematika, pemecahan masalah dapat digunakan sebagai konteks untuk mengajarkan suatu pengetahuan matematika (konsep atau prinsip). Tujuan utama dari proses ini adalah siswa memahami konsep matematika dan bukanlah pemecahan masalah itu sendiri. Masalah dalam pembelajaran matematika di sini berperan sebagai:

1.   Justifikasi dalam mengajarkan matematika
      Konteks  masalah  yang  nyata  atau  dekat  dengan  kehidupan  sehari-hari  siswa  akan meyakinkan siswa bahwa matematika bermanfaat bagi kehidupannya.
2.   Sebagai motivasi yang spesifik mengenai suatu topik matematika
3.   Sebagai rekreasi
      Masalah matematika menjadi tantangan atau permainan yang menyenangkan bagi siswa agar semakin terampil dan mahir
4.   Sebagai usaha mengembangkan suatu keterampilan baru.
      Masalah diberikan dalam urutan tertentu untuk mengenalkan siswa pada materi baru dan sebagai konteks untuk bahan diskusi selanjutnya.

Dalam pembelajaran matematika, pemecahan  masalah merupakan keterampilan yang ditunjukkan melalui kemampuan untuk memperoleh solusi dari masalah yang dihadapinya. Meskipun  pemecahan  masalah  dapat  diinterpretasikan  sebagai  suatu  keterampilan,  asumsi pedagogi  dan  epistemologi  yang  mendasarinya  adalah  keterampilan  merupakan  penguasaan suatu strategi atau teknik pemecahan masalah. Siswa diajarkan suatu teknik pemecahan masalah sebagai materi pelajaran, kemudian diberikan penugasan berupa latihan-latihan sehingga siswa dapat menguasai teknik tersebut. Setelah memperoleh pengajaran pemecahan masalah seperti ini, siswa  dikatakan  telah  memiliki  keterampilan  pemecahan  masalah  sebaik  penguasaannya terhadap fakta dan prosedur yang telah dipelajari.

Pemecahan  masalah  merupakan  seni  dari  matematika  atau  jantungnya  matematika. Dalam hal ini, matematika merupakan pemecahan masalah itu sendiri. Pembelajaran matematika dimulai dari pemecahan masalah sebagai konteks untuk memperkenalkan atau memahami suatu konsep atau prinsip matematika, kemudian konsep atau prinsip yang telah berhasil dipahami tersebut diterapkan dalam soal-soal pemecahan masalah untuk melatih keterampilan siswa.

B.    Kemampuan yang diperlukan sebagai Problem Solver yang sukses

Kemampuan siswa memecahkan masalah berkembang secara perlahan dan kontinu. Menurut Van De Walle (1994) terdapat beberapa aspek dalam diri siswa yang perlu dikembangkan untuk menunjang kemampuannya dalam memecahkan masalah, yaitu:
1.   Strategi pemecahan masalah
2.   Proses metakognitif
3.   Keyakinan dan perilaku siswa terhadap matematika, yaitu mencakup kepercayaan diri, tekad,  kesungguh-sungguhan  dan  ketekunan  siswa  dalam  mencari  pemecahan masalah.

Berbagai  strategi  pemecahan  masalah  perlu  dikenal  dan  kemudian  dikuasai  siswa. Strategi pemecahan masalah yang bisa diajarkan dalam pembelajaran matematika, antara lain: strategi coba-coba, intelligent guessing and testing, membuat gambar, menggunakan model matematika,  mencari  pola,  membuat  tabel,  membuat  dan  mengorganisir  daftar  data  atau informasi, bekerja mundur, menalar dengan logika, mencoba pada masalah analog yang lebih sederhana, menuliskan persamaan atau kalimat terbuka, menggunakan kalkulator atau komputer, memperhitungkan segala kemungkinan, atau menggunakan sudut pandang yang berbeda.

Dalam proses memecahkan masalah, siswa perlu memantau jalan berpikirnya atau proses metakognitif. Dalam proses ini siswa menyadari bagaimana dan mengapa ia melakukan hal tersebut,  siswa juga menyadari  langkah  yang diambilnya apakah  berjalan  dengan  baik  atau menemui  hambatan  sehingga  dapat  mendorong  siswa untuk  memikirkan  alternatif lain  atau berusaha memahami kembali apa masalahnya. Sebagaimana halnya dengan strategi, kemampuan metakognitif ini juga dapat dipelajari.

Keyakinan diinterpretasikan sebagai pemahaman dan perasaan seseorang yang membentuk konseptualisasi dan keterikatan seseorang dengan matematika. Di samping penguasaan siswa akan beragam strategi pemecahan masalah dan pentingnya proses metakognitif, bagaimana perasaan siswa tentang pemecahan masalah dan tentang matematika secara umum mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap usahanya untuk memecahkan masalah dan keberhasilannya dalam matematika.

Menurut Gorman (1974), faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, antara lain adalah kemampuan mencari informasi yang relevan. Siswa harus dapat membedakan informasi yang relevan dan yang tidak relevan terhadap masalah yang dihadapinya. Kemudian, faktor kemampuan dalam memilih pendekatan pemecahan masalah. Pendekatan pemecahan masalah yang berdasarkan pada keterampilan bernalar berupa uji hipotesis lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan yang tidak berdasarkan pada keterampilan bernalar. Namun, terkadang strategi yang digunakan untuk memperoleh solusi tidak selalu berjalan dengan baik sehingga siswa juga perlu memiliki fleksibilitas dalam memilih pendekatan dan fleksibilitas dalam berpikir. Di samping itu, objektivitas dan keterbukaan dalam berpikir juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Objektivitas dapat membantu siswa untuk bernalar secara logis.

Schoenfeld (1992) mensintesiskan 5 aspek kognitif penting, yaitu: basis pengetahuan, strategi pemecahan masalah, monitoring dan kontrol, keyakinan dan kesungguhan, serta latihan- latihan. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah terkait dengan pengetahuan yang dimilikinya, yaitu pengetahuan yang tersimpan dalam memorinya, dan bagaimana pengetahuan tersebut dikembangkan. Basis pengetahuan matematika siswa meliputi pengetahuan informalnya tentang matematika dan pengetahuan intuitif, fakta dasar, definisi, prosedur algoritmik, prosedur rutin, pengetahuan tentang rumus-rumus, prinsip matematika atau aturan lain yang relevan.

Dalam pembelajaran, setidaknya ada dua unsur yang terlibat yaitu siswa dan guru. Bagaimana keyakinan siswa tentang matematika dan bagaimana keyakinan guru tentang matematika  tentu  berpengaruh  terhadap  proses  pembelajaran  itu  sendiri.  Keyakinan  siswa tentang hakikat matematika antara lain: masalah matematika hanya memiliki satu jawaban benar, dan hanya ada satu cara yang benar untuk menyelesaikan masalah matematika. Cara itu biasanya adalah cara yang sering diajarkan guru di kelas. Siswa umumnya juga berkeyakinan bahwa belajar matematika merupakan aktivitas terisolir dan individu, matematika yang dipelajarinya di sekolah hanya memiliki sedikit keterkaitan atau tidak terkait sama sekali dengan dunia nyata. Siswa berkemampuan rata-rata tidak dapat diharapkan untuk bisa memahami matematika, sehingga mereka merasa lebih mudah untuk menghafalkan saja dan menerapkannya secara mekanistis tanpa pemahaman. Adapun  keyakinan guru tentang matematika misalnya: matematika lebih merupakan ide dan proses berpikir daripada fakta, matematika akan lebih baik dipahami  dengan  cara  menemukan  kembali  ide  tersebut. Oleh karena itu, penemuan dan verifikasi merupakan proses yang penting dalam pembelajaran matematika. Guru juga berkeyakinan bahwa tujuan utama dari belajar matematika adalah mengembangkan keterampilan bernalar yang penting bagi pemecahan masalah. Guru harus merancang dan mengelola aktivitas belajar yang bersifat terbuka dan informal agar siswa memiliki kebebasan untuk bertanya dan mengeksplorasi ide mereka sendiri. Guru seharusnya mendorong siswa untuk membuat dugaan dan menalar sesuatu dengan usahanya sendiri daripada menunjukkan kepada siswa bagaimana cara mencapai solusi atau jawaban. Guru seharusnya dapat menarik intuisi dan pengalaman siswa ketika menyajikan suatu materi agar menjadikannya lebih bermakna.

Kemampuan pemecahan  masalah merupakan keterampilan  yang diperoleh siswa dari belajar matematika. Sehingga latihan merupakan hal yang penting agar siswa semakin terampil. Semakin siswa berpengalaman dalam memecahkan beragam masalah, semakin baik pula kemampuan pemecahan masalahnya. Akan lebih baik bila siswa tidak hanya dilatih untuk menggunakan satu strategi dalam memecahkan masalah. Untuk itu, siswa diberi kebebasan untuk melakukan dugaan dan pembuktian sendiri berdasarkan konsep-konsep matematika yang dimilikinya. Siswa hendaknya memiliki keterampilan untuk memilih sendiri strategi apa yang tepat  untuk  masalah  yang  dihadapinya  tersebut,  siswa  juga  hendaknya  dapat  menggunakan strategi tersebut pada beragam masalah yang melibatkan konteks yang berbeda dan bagian yang berbeda dari matematika.

Menurut Resnick dan Ford (1981), terdapat tiga aspek yang mempengaruhi kemampuan siswa dalam merancang strategi pemecahan masalah, yaitu:
1.   Keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah
2.   Keterampilan siswa dalam memahami ruang lingkup masalah, dan
3.   Ktruktur pengetahuan siswa.

Representasi matematis dapat berupa: grafik, diagram, sketsa, persamaan, tabel, formasi bilangan, simbol/lambang, kata-kata, gambar, manipulatif objek, dan berpikir tentang ide-ide matematika.    Representasi    matematis    ini    berfungsi    sebagai    sarana    bagi    siswa mengkomunikasikan gagasannya ketika menghadapi masalah matematika. Semakin baik siswa mengkomunikasikan gagasannya, semakin baik pula siswa memahami hakikat masalah yang dihadapinya. Dan sejalan dengan itu, semakin bermakna pemahaman konsep atau pengetahuan matematika siswa, maka semakin baik pula kemampuan siswa untuk merancang strategi pemecahan masalah.

Posamentier dan Stepelman (1999) memaparkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah dilihat dari aspek lingkungan belajar dan guru, antara   lain:   menyediakan   lingkungan   belajar   yang   mendorong   kebebasan siswa   untuk berekspresi,  menghargai  pertanyaan  siswa  dan  ide-idenya,  memberin kesempatan  bagi  siswa untuk mencari dan menemukan solusi dengan caranya sendiri, memberi penilaian terhadap orisinalitas ide siswa dan mendorong pembelajaran kooperatif yang mengembangkan kreativitas pemecahan masalah siswa. Dalam kegiatan pembelajaran, bentuk kegiatan pemecahan masalah secara berkelompok dinilai lebih efisien daripada dilakukan secara individual. Faktor lain yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dari aspek guru yaitu perlakuan motivasional terhadap siswa seperti memberikan toleransi dan pengertian.

Dengan    demikian,    faktor-faktor    yang    berpengaruh    terhadap    kemampuan siswa memecahkan masalah matematika adalah:
1.  Kemampuan memahami ruang lingkup masalah dan mencari informasi yang relevan untuk mencapai solusi.
2.  Kemampuan dalam memilih pendekatan pemecahan masalah atau strategi pemecahan masalah di mana kemampuan ini dipengaruhi oleh keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah dan struktur pengetahuan siswa.
3.  Keterampilan berpikir dan bernalar siswa yaitu kemampuan berpikir yang fleksibel dan objektif.
4.  Kemampuan metakognitif atau kemampuan untuk melakukan monitoring dan kontrol selama proses memecahkan masalah.
5.   Persepsi tentang matematika.
6.  Sikap siswa, mencakup kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam mencari pemecahan masalah.
7.   latihan-latihan

Adapun   peran   guru   yang   berpengaruh   positif   dalam   meningkatkan   kemampuan siswa memecahkan masalah matematika adalah:
1.   Memberi cukup ruang bagi siswa untuk berkreasi
2.   Bersikap responsif dan toleran
3.   Mendorong kemandirian siswa dalam berpikir

Referensi 

Gorman,  R.  M.  (1974).  The  psychology  of  classroom  learning:  An  inductive approach. Columbus, Ohio. Merril Publishing Company.

Posamentier, A. S. & Stepelman, J. (1999). Teaching secondary school mathematics: Techniques and enrichment units (5th ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Resnick, L. B & Ford, W. W. (1981). The Psychology of mathematics for instruction. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Schoenfeld.  (1992).  Learning to think mathematically: Problem  solving, metacognition, and sense making in mathematics. Dalam Grouws, Douglas A (Eds.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (pp. 334-366). New York: Macmillan Publishing Company.

van de Walle, J. A. (1994). Elementary school mathematics: Teaching developmentally (2nd ed). New York: Longman Publishing.